Rabu, 22 Mei 2013

Takhrij Hadits


A.    PENGERTIAN TAKHRIJ HADIST
Takhrij berasal dari kata ‘tampak’ atau ‘jelas’. Takhrij secara bahasa berarti juga berkumpulnya dua perkara yang saling berlawanan dalam satu persoalan, namun secara mutlak, ia di artikan oleh para ahli bahasa dengan arti ‘mengeluarkan’, ‘melatih’, atau ‘membiasakan’ dan ‘menghadapkan’.[1]
Menurut istilah Muhaditsin, Takhrij di artikan dalam beberapa pengertian, sebagai berikut:
a.       Sinonim dan ikhraj, yakni seorang rawi yang mengutarakan suatu hadits dengan menyebutkan sumber keluarnya (pemberita) hadits tersebut.
b.      Mengeluarkan hadits – hadits dari kitab – kitab, kemudian sanad – sanadnya di sebutkan.
c.       Menukilkan hadits dari kitab – kitab sumber (diwan hadits) dengan menyebut mudawinya serta di jelaskan martabat hadisnya.[2]
Dari uraian di atas dapat di simpulkan, bahwa takhrij meliputi kegiatan sebagai berikut:
a.       Periwayatan (penerimaan, perawatan, pentadwinan, dan penyampaian).
b.      Penukilan hadits dari kitab – kitab asal untuk dihimpun dalam suatu kitab tetentu.
c.       Mengutip hadits – hadits dari kitab – kitab (tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, dan akhlak) dengan menerangkan sanad – sanadnya.
d.      Membahas hadits – hadits sampai diketahui martabat kualitas (maqbul - mardudnya).





B.     METODE TAKHRIJ
Takhrij sebagai metode untuk menentukan kehujahan hadits itu terbagi kedalam 3 kegiatan yakni : (1.) Naql (2.) Tashih (3). I’tibar

1.      Takhrij Naql atau Akhdzu
Takhrij dalam bentuk ini kegiatannya berupa penelusuran penukilan dan pengambilan hadits dari beberapa kitab hadits, sehingga dapat teridenifikasi hadits – hadits teentu yang di kehendaki lengkap dengan rawi dan sanadnya masing – masing.

5 teknik yang dikemukakan oleh Mahmud Al – Tahhan dalam menggunakan metode takhrij sebagai naql sebagai berikut:
a.       Takhrij dengan mengetahui shahabat yang meriwayatkan hadits.
b.      Takhrij dengan mengetahui lafadz asal matan hadits.
c.       Takhrij dengan cara mengetahui lafadz matan hadits yang kurang yang kurang di kenal.
d.      Takhrij dengan mengetahui tema aau pokok bahasan hadits.
e.       Takhrij dengan mengetahui matan dan sanad hadits.


2.      Takhrij Tashih
Cara ini sebagai lanjutan dari cara yang pertamayang menggunakan pendekatan Takhrij Al – Naql. Tashih dalam arti menganalisis keshahihan hadits dengan mengkaji rawi, sanad dan matan berdasarkan kaidah.
Kegiatan Tashih di lakukan dengan menggunakan kitab ‘Ulumul Hadits yang berkaitan dengan Rijal, Jarh Wa Al – Ta’dil, Ma’an Al Hadits, Gharib Al Hadits’. Kegiatan ini di lakukan oleh Mudawwin (kolektor) sejak Nabi Saw sampai abad III Hijriyah dan di lakukan oleh para Syarih (komentator) sejak abad IV sampai kini.

3.      Takhrij I’tibar.
I’tibar berarti mendapatkan informasi dan petunjuk dari literature, baik kitab yang asli maupun kitab syarah dan kitab fan yang memuat dalil – dalil hadits. Secara teknis, proses pembahasan yang perlu di tempuh dalam studi dan penelitian hadits sebagai berikut :
a.       Dilihat, Apakah teks hadits tersebut benar – benar sebagai hadits.
b.      Dikenal unsure yang harus ada pada hadits, berupa rawi,sanad dan matan.
c.       Termasuk jenis hadits apa hadits tersebut, dari segi rawinya, matannya dan sanadnya.
d.      Bagaimana kualitas hadits tersebut.
e.       Bila hadis itu maqbul, bagaimana ta’mulnya? Apakah Ma’mul bih (dapat di amalkan) dan Ghoir Maa’ul bih?











C.    TUJUAN DAN MANFAAT TAKHRIJUL HADITS
Ilmu takhrij merupakan bagian dari ilmu agama yang harus mendapat perhatian serius karena di dalamnya dibicarakan berbagai kaidah untuk mengetahui sumber hadits itu berasal. Di samping itu, di dalamnya ditemukan banyak kegunaan dan hasil yang diperoleh, khusunya dalam menentukan kualitas sanad hadits.[3]
Takhrij hadits bertujuan untuk mengeahui sumber asal hadits yang di takhrij. Tujuan lainnya adalah mengeahui ditolak atau diterimannya hadits – hadits tersebut. Dengan cara ini, kita akan mengetahui hadits – hadits yang penutipannya memerhatikan kaidah – kaidah ulumul hadits yang berlaku sehingga hadits tersebut menjadi jelas, baik asal – usul maupun kualitasnya.
Ada beberapa manfaat dari Takhrij Hadits antara lain sebagai berikut :
a.       Memberikan informasi bahwa suatu hadits termasuk hadits Sahih li Dzatih atau Sahih liGairih, Hasan li Dzatih atau Hasan li Gairih, ataupun Daif, Setelah di adakan peneliian dari segi matan maupun sanadnya.[4]
b.      Memberikan kemudahan bagi orang – orang yang mau mengamalkan setelah tahu bahwa suatu hadits adalah hadits makbul (dapat diterima). Dan sebaliknya tidak mengamalkannya apabila diketahui bahwa suatu hadits adalah mardud (ditolak).
c.       Menguatkan keyakinan bahwa suatu hadits adalah benar – benar berasal dari Rasulullah SAW yang harus kita ikuti karena adanya bukti – bukti yang kuat tentang kebenaran hadits ersebut, baik dari segi sanad maupun matan.
d.      Dapat di ketahui banyak – sedikitnya jalur periwayatan suatu hadits yang sedang menjadi topik kajian.
e.       Dapat diketahui kuat dan tidaknya periwayatan akan menambah kekuatan riwayat. Sebaliknya, tanpa dukungan periwayatan lain, kekuatan periwayatan tidak bertambah.


D.    SEJARAH TAKHRIJ HADITS
Kegiatan mentakhrij hadits muncul dan diperlukan pada masa ulama mutakkhirin. Sedang sebelumnya, hal ini tidak pernah dibicarakan dan diperlukan. Kebiasaan para ulama mutaqqodim menurut Al’Iraqi, dalam mengutip hadits – haditsnya tidak pernah membicarakan dan menjelaskan dari mana hadits itu dikeluarkan, serta bagaimana kualitas hadits – hadis tersebut, sampai kemudian datang An – Nawawi yang melakukan hal itu.
Penguasaan para ulama yang dahulu terhadap sumber – sumber hadits begitu luas sehingga jika disebutkan suatu hadits mereka idak merasa kesulitan untuk mengeahui sumber hadits tersebut. Keika semangat belajar mulai melemah, mereka kesulian untuk mengetahui tempat – tempat hadits yang dijadikan rujukan para penulis ilmu syar’i. Sebagian ulama bangkit dan memperlihatkan hadits – hadits yang ada pada sebagian kitab dan menjelaskan sumbernya dari kitab hadits yang asli, menjelaskan metodennya, dan menerangkan kualitasnya, Apakah hadits tersebut sahih atau dhaif, lalu muncullah apa yang di namakan dengan Kutub At – Takhrij.[5]
Ulama yang pertama kali melakukan takhrij menurut Mahmud ah – thahhan ialah Al – Khatib Al Baghdadi (463 H). Kemudian bermunculan kiab – kitab takhrij lainnya. Namun menurutnya, yang paling baik ialah karya Al Zaila’I yang berjudul Nash bar – Rayah li Ahadits Al – Hidayah.







Kesimpulan:
Takhrij menurut bahasa ialah mengeluarkan sesuatu dari tempat.
Dari uraian diatas, takhrij dapat di jelaskan sebagai berikut :
a.       Mengemukakan hadits pada orang banyak dengan menyebukan para rawinya yang ada dalam sanad hadits itu.
b.      Mengemukakan asal – usul hadits, sumber – sumber hadits secara lengkap berdasarkan metode periwayatannya secara sanadnya berdasarkan riwayat yang telah diterima sendiri atau berdasarkan rangkaian sanad gurunya masing – masing yang dijadikan sumber pengambilan untuk penelitian dan dijelaskan kualitas hadits yang bersangkutan.














DAFTAR PUSTAKA

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, PT. Pustaka Rizki, Semarang, 2009.
Hady Mufa’at Ahmad, Drs. Dirasah Islamiah, CV. Sarana Al Jurasi, Semarang, 1994.
Shuhudi Ismail, Prof., Dr., H. M. Hadits Nabi menurut Pembela dan Pemalsunya, Gema Insani, Jakarta, 1995.
Husnan Ahmad, Kajian Hadits Metode Takhrij. Pustaka Al Kautsar, Jakarta
Syuhudi Ismail, Meedoloi Penelitian Hadits, Bulan Bintang, Jakarta 1990.
Syuhudi Ismail, Cara praktis Mencari Hadits, Bulan Bintang, Jakarta, 1991. 


[1] . Abu Muhammad Al-Mahi Ibn Abd Al-Qadir Al-Hadi. Darul Ikhtisham: Thariqu Takhrij Hadits Rasulullah ‘Alaihi wasallam. T.t. hlm.6.
[2] . Endang Soearti, Ilmu Hadits kajian riwayat dan dirayah. Mimbar Pustaka, Bandung. 2005.
[3] . Utang Ranuwijaya. Ilmu Hadits. Jakarta: Gaya Media Praama. 1996.
[4]Ahmad Zarkasyi Chumaidy. “Takhrij Al – Hadits: Mengkaji dan meneliti Al - Hadits”. Bandung: IAIN Sunan Gunung Djati . 1990. Hlm, 7.
[5] . Syaikh Manna’ Al Qaththan. Mahabits fi Ulum Al – Hadits. Tejemahan Muhammad Ihsan. Jakarta : Pustaka Al – Kautsar. 2005, hlm. 189.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar