Jumat, 24 Mei 2013

Hadist Ekonomi (Khiyar, Riba, Ariyah, Iqrar, dan Wadiah)

A. KHIYAR

1. Pengertian Khiyar artinya “boleh memilih antara dua, meneruskan akad jual-beli atau mengurungkan (menarik kembali, mengurungkan jual-beli). Diadakan khiyar oleh syara’ dikarenakan agar kedua orang yang berjual-beli dapat memikirkan kemaslahatan masing-masing lebih jauh, agar tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari lantaran merasa tertipu. وَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-, عَنْ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( إِذَا تَبَايَعَ اَلرَّجُلَانِ, فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا وَكَانَا جَمِيعاً, أَوْ يُخَيِّرُ أَحَدُهُمَا اَلْآخَرَ, فَإِنْ خَيَّرَ أَحَدُهُمَا اَلْآخَرَ فَتَبَايَعَا عَلَى ذَلِكَ فَقَدَ وَجَبَ اَلْبَيْعُ, وَإِنْ تَفَرَّقَا بَعْدَ أَنْ تَبَايَعَا, وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا اَلْبَيْعَ فَقَدْ وَجَبَ اَلْبَيْعُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَّفْظُ لِمُسْلِمٍ Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila dua orang melakukan jual-beli, maka masing-masing orang mempunyai hak khiyar (memilih antara membatalkan atau meneruskan jual-beli) selama mereka belum berpisah dan masih bersama; atau selama salah seorang di antara keduanya tidak menentukan khiyar pada yang lain, lalu mereka berjual-beli atas dasar itu, maka jadilah jual-beli itu. Jika mereka berpisah setelah melakukan jual-beli dan masing-masing orang tidak mengurungkan jual-beli, maka jadilah jual-beli itu." Muttafaq Alaihi. Dan lafadznya menurut riwayat Muslim.
 Ulasan:
 a. Jika terjadi jual beli padahal pembeli dan penjual masih ditempat berjual beli, maka masih boleh melakukan khiyar dari masing-masing, yaitu boleh jual belinya diurungkan atau dibatalkan.
b. Jika dua calon penjual dan pembeli membicarakan hak khiyar dan kemudian terjadilah jual beli antara mereka, maka jual beli itu terjadi sesuai dengan khiyar yang mereka buat (ada atau tidaknya khiyar).
 c. Jika telah terjadi jual beli dan barang-barang sudah diangkat sama sekali dari tempat jual beli, maka jadilah jual beli mereka dan tidak ada khiyar lagi.
d. Dan bagi mereka boleh mengadakan syarat khiyar sampai batas tiga hari

 2. Macam-macam Khiyar Ada tiga macam jenis-jenis khiyar
 • Khiyar Majelis Artinya, si pembeli dan penjual boleh memilih diantara dua perkara tadi selama keduanya masih tetap berada ditempat jual-beli. Khiyar majlis ini diperbolehkan dalam segala macam jual-beli.
 • Khiyar Syarat Artinya, khiyar itu dijadikan syarat sewaktu akad oleh keduanya atau oleh salah seorang , misalnya seperti kata penjual, “Saya jual barang ini dengan harga sekian dangan syarat khiyar dalam tiga hari atau kurang.” Khiyar syarat paling lama tiga hari terhitung dari waktu akad.
 • Khiyar ‘Aibi (Cacat) Artinya, si pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya apabila pada barang itu terdapat suatu cacat yang mengurangi kualitas barang, atau mengurangi harganya. Biasanya, toko mencantumkan di atas faktur jual belinya, “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan lagi”, dengan demikian, maka hak khiyar tidak ada lagi, walaupun masih berada di toko tersebut. Seperti dalam hadits : وَعَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ, عَنْ أَبِيهِ, عَنْ جَدِّهِ; أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( اَلْبَائِعُ وَالْمُبْتَاعُ بِالْخِيَارِ حَتَّى يَتَفَرَّقَا, إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَفْقَةَ خِيَارٍ, وَلَا يَحِلُّ لَهُ أَنْ يُفَارِقَهُ خَشْيَةَ أَنْ يَسْتَقِيلَهُ ) رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ إِلَّا اِبْنَ مَاجَهْ, وَاَلدَّارَقُطْنِيُّ, وَابْنُ خُزَيْمَةَ, وَابْنُ اَلْجَارُودِ. وَفِي رِوَايَةٍ: ( حَتَّى يَتَفَرَّقَا مِنْ مَكَانِهِمَا ) Dari Amar Ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar sebelum keduanya berpisah, kecuali telah ditetapkan khiyar dan masing-masing pihak tidak diperbolehkan pergi karena takut jual-beli dibatalkan." Riwayat Imam Lima kecuali Ibnu Majah, Daruquthni, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu al-Jarus. Dalam suatu riwayat: "Hingga keduanya meninggalkan tempat mereka." وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: ذَكَرَ رَجُلٌ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ يُخْدَعُ فِي اَلْبُيُوعِ فَقَالَ: ( إِذَا بَايَعْتَ فَقُلْ: لَا خَلَابَةَ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Ada seseorang mengadu kepada Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bahwa ia tertipu dalam jual beli. Lalu beliau bersabda: "Jika engkau berjual-beli, katakanlah: Jangan melakukan tipu daya." Muttafaq Alaihi.
 Ulasan: Mengenai telah terjadi penipuan terhadap khilafiyah:
a. Imam Ahmad dan Malik berpendapat, bahwa dengan semata-mata telah terjadi penipuan, maka dengan sendirinya ada hak khiyar.ini terhadap pembeli yang tidak tahu harga barang itu. Sebagian pengikut Imam Malik mensyaratkan, “Jika Jika pembeli rela maka tidak bernama penipuan”.
b. Jumhul Ulama berpendapat tidak dengan sendirinya dinamakan penipuan, karena umumnya lafal hadits itu. c. Jika jual beli terjadi antara orang yang belum cerdas atau masih anak-anak, maka khiyar diperlakukan.

 B. RIBA
 1. Pengertian Riba menurut istilah ilmu fikih secara umum adalah tiap jual beli yang haram. Riba menurut bahasa berarti tambahan. Sedangkan menurut syari’at berarti tambahan dalam beberapa hal yang bersifat khusus. Siapapun yang terlibat didalamnya dilaknat, seperti orang yang mengambil riba, wakilnya, saksi dan penulisnya. Riba termasuk kebiasaan Zaman jahiliyah.
Ayat yang membawa masalah dengan riba:
 a. Orang-orang yang memakan tidak dapat berdiri (di akhirat), kecuali seperti orang yang ditampar setan. Sebabnya ialahkarena mereka berpendapat, “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…..”
b. Allah tidak memberkahi hasil riba dan memberkahi hasil sedekah…. Mengenai pengaruh riba atas umat manusia diperingatkan Rasulullah: Adapun bekerja atau jadi pegawainya, maka termasuk mencari penghidupan dari hasil perbuatan haram. Jika berdoa kepada Allah tidak akan dikabulkan Allah SWT dan pemakannya dengan mudah jatuh ke lembah perbuatan dosa. Jika anda sedang dalam situasi seperti ini, usahakan segera menukar sumber hidup, sehingga hanya karena terpaksa saja yaitu karena memelihara nyawa dan itulah jalan usaha satu-satunya pada waktu itu. Sabda Rasulullah SAW عَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ:لَعَنَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم آكِلَ اَلرِّبَا, وَمُوكِلَهُ, وَكَاتِبَهُ, وَشَاهِدَيْهِ, وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ )رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَلِلْبُخَارِيِّ نَحْوُهُ مِنْ حَدِيثِ أَبِي جُحَيْفَةَ( Jabir Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Beliau bersabda: "Mereka itu sama." Riwayat Muslim. Bukhari juga meriwayatkan hadits semisal dari Abu Juhaifah. وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: اَلرِّبَا ثَلَاثَةٌ وَسَبْعُونَ بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ اَلرَّجُلُ أُمَّهُ, وَإِنَّ أَرْبَى اَلرِّبَا عِرْضُ اَلرَّجُلِ اَلْمُسْلِمِ. ) رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَهْ مُخْتَصَراً, وَالْحَاكِمُ بِتَمَامِهِ وَصَحَّحَهُ
( Dari Abdullah Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Riba itu mempunyai 73 pintu, yang paling ringan ialah seperti seorang laki-laki menikahi ibunya dan riba yang paling berat ialah merusak kehormatan seorang muslim." Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan ringkas dan Hakim dengan lengkap, dan menurutnya hadits itu shahih. Ulasan: Mengenai jumlah 73 macam itu, tidak ada uraian terperinci dari Rasulullah SAW. Tapi dalam riba sendri terdapat tiga macam: a. Riba Nasi’ah/ Riba Jahiliyah Yaitu pertambahan bersyarat yang diperoleh orang yang menghutang dari orang yang berhutang lantaran penanggungan. Jelas ini diharamkan. Dengan berlandaskan kepada Al-kitab, As-Sunnah dan Ijma’ para Imam. الرِّبَا فِيْ النَّسِيْئَةِ Artinya: ” Riba itu dalam nasi’ah”.[HR Muslim dari Ibnu Abbas] b. Riba Fadhal Yaitu jenis jual beli uang dengan uang atau barang pangan dengan barang pangan dengan tambahan.Jenis riba ini diharamkan karena penyebab/pembawa kepada riba nasi’ah. Dalil pelarangannya adalah hadits yang dituturkan oleh Imam Muslim. الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ فَمَنْ زَادَ أَوْ اسْتَزَادَ فَهُوَ رِبًا “Emas dengan emas, setimbang dan semisal; perak dengan perak, setimbang dan semisal; barang siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka (tambahannya) itu adalah riba”. (HR Muslim dari Abu Hurairah).
 a. Riba Qardh yaitu pinjam meminjam atau berhutang piutang dengan menarik keuntungan dari orang yang meminjam atau yang berhutang seperti meminjam uang dengan dikenakan bunga yang tinggi. Sabda Rasulullah SAW : كل قرض جر منفعة فهو وجه من وجوه الربا ﴿اخرجه البيهقي﴾ Artinya : Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba (HR. Baihaqi) Pelarangan riba qardl juga sejalan dengan kaedah ushul fiqh, “Kullu qardl jarra manfa’atan fahuwa riba”. (Setiap pinjaman yang menarik keuntungan (membuahkan bunga) adalah riba”.
b. Riba Yadd yaitu bila salah satu dari penjual atau pembeli dalam jual beli telah meninggalkan majelis akad sebelum saling menyerah terimakan barang. Larangan riba yadd ditetapkan berdasarkan hadits-hadits berikut ini; الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ “Emas dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan, gandum dengan gandum riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kismis dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan kontan (HR al-Bukhari dari Umar bin al-Khaththab) عَن عُمَرَ بنِ الْخِطَّابْ رضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الذَّهبُ بِالذَّهَبِ رِبا إِلاَّ هَأ وَهَأ وَالفِضَّةُ بِالْفِضَّةَِ رِبًّا إِلَّا هَأَ وَهَأَ وَالْبَرُّ بِالْبُرِّ رِبا إِلَّا هَأَ وَهَأَ وَالشَّعِيْرُ باشَّعِيْرِ رِبًا إلَّا هَأَ وَهَأَ Artinya: “Dari Umar bin Al-khaththab Radhiyallahu Anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu A’laihi wa Sallam bersabda, ‘jual-beli emas dengan emas adalah riba kecuali secara kontan, perak dengan perak adalah riba kecuali dengan kontan, biji gandum dengan biji gandum adalah riba kecuali dengan kontan, tepung gandum dengan tepung gandum adalah riba kecuali dengan kontan. (H.R. Bukhari-Muslim). Pengharaman jual-beli emas dengan perak atau sebaliknya serta keruasakannya jika tidak dilakukan pembayaran secara kontan di antara penjual dan pembeli sebelum berpisah dari tempat akad. Inilah yang disebut musharafah. Pengharaman jual-beli biji gandum dengan biji gandum atau tepung gandum dengan tepung gandum serta kerusakannya, jika tidak dilakukan secara kontan sebelum penjual dan pembeli berpisah dari tempat akad. Keabsahan akad jika dilakukan pembayaran secara kontan dalam musharafah, di tempat akad. Larangan penjualan emas atau perak baik yang sudah di bentuk maupun yang belum di bentuk (batangan), kecuali jika berat keduanya sama, dan pembayaran atau serah terima barang harus dilakukan di tempat akad, sebab salah seorang di antara keduanya tidak diperbolehkan menjual barang yang ada sedang yang lain tidak ada.
 وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ رضي الله عنه أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( لَا تَبِيعُوا اَلذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ, وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ, وَلَا تَبِيعُوا اَلْوَرِقَ بِالْوَرِقِ إِلَّا مِثْلًا بِمِثْلٍ, وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ, وَلَا تَبِيعُوا مِنْهَا غَائِباً بِنَاجِزٍ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Janganlah menjual emas dengan emas kecuali yang sama sebanding dan jangan menambah sebagian atas yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali yang sama sebanding dan jangan menambah sebagian atas yang lain, dan janganlah menjual perak yang tidak tampak dengan yang tampak." Muttafaq Alaihi. Ulasan: Yang dimaksud dengan ‘uang dengan uang’ itu adalah berdagang mata uang yang sama, seperti berdagang rupiah dengan rupiah. Misal menukarkan uang kertas sepuluh ribu rupiah dengan uang recehan seribu rupiah selembar dengan memotongnya jadi sembilan lembar uang seribu rupiah. Tetapi, jika menukar mata uang yang berlainan, seperti uang dolar dengan uang rupiah maka tidak termasuk dalam masalah hadits ini.
 وَعَنْ عُبَادَةَ بْنِ اَلصَّامِتِ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ, وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ, وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ, وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ, وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ, وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ, مِثْلًا بِمِثْلٍ, سَوَاءً بِسَوَاءٍ, يَدًا بِيَدٍ, فَإِذَا اِخْتَلَفَتْ هَذِهِ اَلْأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ
798. Dari Ubadah al-Shomit bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "(Diperbolehkan menjual) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama sebanding, sejenis, dan ada serah terima." Riwayat Muslim. Ulasan:
a. Jika kualitas barang yang diperjual belikan sama, maka tidak boleh melebihkan atau mengurangkan yang satu. Lebihannya itulah RIBA
b. Persyaratan harus bertemu muka antara penjual dan pembeli. Tetapi dalam perdagangan modern biasanya hanya Pedagang Pengantarlah yang lebih mungkin melihat barang dan pembelinya.
 وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ, وَأَبِي هُرَيْرَةَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- ( ;أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم اِسْتَعْمَلَ رَجُلًا عَلَى خَيْبَرٍ, فَجَاءَهُ بِتَمْرٍ جَنِيبٍ, فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَكُلُّ تَمْرِ خَيْبَرَ هَكَذَا? فَقَالَ: لَا, وَاَللَّهِ يَا رَسُولَ اَللَّهِ, إِنَّا لَنَأْخُذُ اَلصَّاعَ مِنْ هَذَا بِالصَّاعَيْنِ وَالثَّلَاثَةِ فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم لَا تَفْعَلْ، بِعِ اَلْجَمْعَ بِالدَّرَاهِمِ, ثُمَّ اِبْتَعْ بِالدَّرَاهِمِ جَنِيبًا ) وَقَالَ فِي اَلْمِيزَانِ مِثْلَ ذَلِكَ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَلِمُسْلِمٍ: وَكَذَلِكَ اَلْمِيزَانُ
 Dari Abu Said al-Khudry dan Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam mengangkat seorang amil zakat untuk daerah Khaibar. Ia kemudian membawa kepada beliau kurma yang bagus; Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bertanya: "Apakah setiap kurma khaibar seperti ini?". Ia menjawab: Demi Allah tidak, wahai Rasulullah. Kami menukar satu sho' seperti ini dengan dua sho', dan dua sho' dengan tiga sho'. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Jangan lakukan itu, juallah semuanya dengan dirham, kemudian belilah kurma yang bagus dengan dirham tersebut." Beliau bersabda: " Demikian juga dengan benda-benda yang ditimbang." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Muslim: "Demikian pula benda-benda yang ditimbang."

2. Hikmah dilarangnya Riba
Riba dapat menimbulkan permusuhan antar sesama,menghilangkan semangat kerja dan tolong menolong. Padahal semua agama terutama islam amat menyeru kepada saling tolong menolong, dan membenci kepentingan ego, serta orang yang mengeksploitir kerja keras orang lain.
 a. Hikmah larangan itu ialah agar tidak ada penyesalan, baik oleh yang menukar maupun yang menukarkannya. Hukum paling baik.
 b. Melarang bentuk penukaran dan tidak membatalkan mengiqalahkan jual beli yang telah terjadi.
c. Riba menimbulkan sikap pemboros yang tidak bekerja. menimbun harta tanpa kerja keras, sehingga menjadi pemalas, seperti pohon benalu. Padahal islam sangat menghornati orang yang suka bekerja keras. Karena dengan kerja keras seseorang bisa lebih terasah kemampuannya juga bisa mandiri.
d. Riba merupakan salah satu cara penjajahan. Kita telah mengenal riba dengan segala dampak negatifnya di dalam menjajah negara kited.
 e. Islam menyeru agar manusia suka mendermakan harta kepada saudaranya dengan baik, jika saudaranya itu membutuhkan harta.
f. Riba dapat mengakibatkan kehancuran. Banyak orang-orang yang kehilangan harta benda dan akhirnya menjadi fakir miskin.
g. untuk menghilangkan tipu-menipu di antara manusia dan juga menghindari kemadaratan
. وَعَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : ( نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنْ بَيْعِ اَلصُّبْرَةِ مِنَ اَلتَّمْرِ لا يُعْلَمُ مَكِيلُهَا بِالْكَيْلِ اَلْمُسَمَّى مِنَ اَلتَّمْرِ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ
 Jabir Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli setumpuk kurma yang tidak diketahui takarannya dengan kurma yang diketahui takarannya. Riwayat Muslim. Ulasan: Jika sudah ada tumpukan untuk membandingkannya, maka jual beli itu tidak haram, apalagi jika dilakukan oleh orang-orang yang berpengalaman.
 وَعَنْ مَعْمَرِ بْنِ عَبْدِ اَللَّهِ رضي الله عنه قَالَ: إِنِّي كُنْتُ أَسْمَعُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: ( اَلطَّعَامُ بِالطَّعَامِ مِثْلاً بِمِثْلٍ وَكَانَ طَعَامُنَا يَوْمَئِذٍ اَلشَّعِيرَ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Ma'mar Ibnu Abdullah Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Makanan dengan makanan yang sama sebanding." Makanan kami pada hari itu adalah sya'ir. Riwayat Muslim
فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ رضي الله عنه قَالَ: ( اِشْتَرَيْتُ يَوْمَ خَيْبَرَ قِلَادَةً بِاِثْنَيْ عَشَرَ دِينَاراً, فِيهَا ذَهَبٌ وَخَرَزٌ، فَفَصَلْتُهَا فَوَجَدْتُ فِيهَا أَكْثَرَ مِنْ اِثْنَيْ عَشَرَ دِينَاراً, فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: لَا تُبَاعُ حَتَّى تُفْصَلَ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Fadlalah Ibnu Ubaid Radliyallaahu 'anhu berkata: Pada hari perang Khaibar aku membeli kalung emas bermanik seharga dua belas dinar. Setelah manik-manik itu kulepas ternyata ia lebih dari dua belas dinar. Lalu aku beritahukan hal itu kepada Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam, dan beliau bersabda: "Tidak boleh dijual sebelum dilepas." Riwayat Muslim. Ulasan: Jika harus dipisahkan tiap permata dari kalung emasnya, maka alangkah sulitnya bagi penjual dan pembeli, padahal kalungnya sudah jadi. Lain halnya, kalau baru dipesan. Yang penting ialah tidak menimbulkan penipuan.
 وَعَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ رضي الله عنه ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ بَيْعِ اَلْحَيَوَانِ بِالْحَيَوَانِ نَسِيئَةً ) رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ اَلْجَارُودِ
Dari Samurah Ibnu Jundab bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli hewan dengan hewan penundaan. Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Tirmidzi dan Ibnu al-Jarud. Ulasan: A dan B telah sepakat akan menukarkan hewannya, tetapi baru dilaksanakan kemudian. Tentulah terjadi spekulasi seperti hewan itu ada yang mati, sakit, beranak dan lain-lain.
 وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: ( إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ, وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ اَلْبَقَرِ, وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ, وَتَرَكْتُمْ اَلْجِهَادَ, سَلَّطَ اَللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ مِنْ رِوَايَةِ نَافِعٍ عَنْهُ, وَفِي إِسْنَادِهِ مَقَالٌ. وَلِأَحْمَدَ: نَحْوُهُ مِنْ رِوَايَةِ عَطَاءٍ, وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ اَلْقَطَّانِِ
Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Jika engkau sekalian berjual-beli dengan 'inah (hanya sekedar mengejar keuntungan materi belaka), selalu membuntuti ekor-ekor sapi, hanya puas menunggui tanaman, dan meninggalkan jihad maka Allah akan meliputi dirimu dengan suatu kehinaan yang tidak akan dicabut sebelum kamu kembali kepada agamamu." Diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Nafi', dan dalam sanadnya ada pembicaraan. Ahmad meriwayatkan dari Atho' dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya dan dinilai shahih oleh Ibnu Qoththon. Ulasan: a. Hadist ini mengharamkan jual beli INAH yaitu misal si A menjual sesuatu kepada si B dengan harga tertentu, tetapi mbayarnya kemudian sesuai masa janjinya. Kemudian si A membeli barang itu kembali dari si B dengan harga yang lebih murah, kemungkinan si B membutuhkan uang tetapi hutangnya belum dilunasinya.
b. Mengenai masalah itu terdapat khilafiyah:
• Imam Malik, Ahmad dan sebagian pengikut Imam Syafi’I melarangnya berdasarkan hadist ini
• Imam Syafi’I sendiri memperbolehkan dengan dalil menyamakan dengan yang dimaksud hadits Abu Said dan Abu Hurairah, yaitu menjual dengan dirham lebih dahulu kemudia membeli yang lain dengan dirham itu. Hadawiyah membolehkan pula jika untuk semata hilah (elakan)
 وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ رضي الله عنه عَنِ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( مَنْ شَفَعَ لِأَخِيهِ شَفَاعَةً, فَأَهْدَى لَهُ هَدِيَّةً, فَقَبِلَهَا, فَقَدْ أَتَى بَابًا عَظِيماً مِنْ أَبْوَابِ اَلرِّبَا ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَفِي إِسْنَادِهِ مَقَالٌ
 Dari Abu Umamah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa memberi syafa'at (menjadi perantara untuk suatu kebaikan) kepada saudaranya, lalu ia diberi hadiah dan diterimanya, maka ia telah mendatangi sebuah pintu besar dari pintu-pintu riba." Riwayat Ahmad dan Abu Dawud, dan dalam sanadnya ada pembicaraan. Ulasan: Jika hadiah balasan itu sebagai suatu keharusan maka hal itu berbau sogokan. Tetapi jika hanya kerelaan hati nurani yang menghadiahkan, maka tidak termasuk lingkup masalah dalam hadist ini dan tidak dilarang.
 وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوٍ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: ( لَعَنَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم اَلرَّاشِي وَالْمُرْتَشِيَ ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ
Dari Abdullah Ibnu Amar Ibnu al-'Ash Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melaknat orang yang memberi dan menerima suap. Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi. Hadits shahih menurut Tirmidzi.
 Ulasan:
a. Termasuk RISYWAH ialah pungutan liar di Indonesia dewasa ini dan sedang giat pemberantasannya oleh Pemerintah RI karena memperlambat pembangunan.
 b. Tapi, ada yang boleh (jawaaz) ialah jika untuk memeliharakan nyawa sendiri. Misal ada orang disuruh membunuh kita, lalu kita berikan risywah agar tidak jadi dibunuh. Yang menerima berdosa tetapi yang memberi tidak berdosa.
 وَعَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرٍو -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-; ( أَنَّ رَسُولَ صلى الله عليه وسلم أَمَرَهُ أَنْ يُجَهِّزَ جَيْشًا فَنَفِدَتْ اَلْإِبِلُ، فَأَمَرَهُ أَنْ يَأْخُذَ عَلَى قَلَائِصِ اَلصَّدَقَةِ. قَالَ: فَكُنْتُ آخُذُ اَلْبَعِيرَ بِالْبَعِيرَيْنِ إِلَى إِبِلِ اَلصَّدَقَةِ ) رَوَاهُ اَلْحَاكِمُ وَالْبَيْهَقِيُّ, وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ
 Dari Abdullah Ibnu Amar Ibnu al-'Ash Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam menyuruhnya untuk menyiapkan pasukan tentara, tetapi unta-unta telah habis. Lalu beliau menyuruhnya agar menghutang dari unta zakat. Ia berkata: Aku menghutang seekor unta akan dibayar dengan dua ekor unta zakat. Riwayat Hakim dan Baihaqi dengan perawi-perawi yang dapat dipercaya. Ulasan: Mengenai peminjaman hewan itu terdapat tiga pendapat:
a. Imam Syafi’I, Malik membolehkannya berdasarkan hadist ini
b. Ibnu Jahir dan Daud membolehkannya secara mutlak
c. Hadawiyah dan Hanafiyah berpendapat tidak boleh meminjam hewan, karena menurut mereka hadist ini tidak sahih.
 وَعَنْ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: ( نَهَى رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ الْمُزَابَنَةِ; أَنْ يَبِيعَ ثَمَرَ حَائِطِهِ إِنْ كَانَ نَخْلاً بِتَمْرٍ كَيْلاً, وَإِنْ كَانَ كَرْماً أَنْ يَبِيعَهُ بِزَبِيبٍ كَيْلاً, وَإِنْ كَانَ زَرْعاً أَنْ يَبِيعَهُ بِكَيْلِ طَعَامٍ, نَهَى عَنْ ذَلِكَ كُلِّهُ ) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ 809.
Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli muzabanah, yaitu seseorang yang menjual buah kebunnya, jika kurma basah dijual dengan kurma kering bertakar, anggur basah dijual dengan anggur kering bertakar, dan tanaman kering dijual dengan makanan kering bertakar. Beliau melarang itu semua. Muttafaq Alaihi.
 Ulasan:
 a. Inti ajaran hadist ini ialah agar tidak terjadi penyesalan dan penipuan.
b. Larangan ini bukan untuk Ibnu Umar belaka, tetapi untuk semua umat manusia.
 وَعَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ رضي الله عنه قَالَ: ( سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم سُئِلَ عَنِ اِشْتِرَاءِ اَلرُّطَبِ بِالتَّمْرِ فَقَالَ: أَيَنْقُصُ اَلرُّطَبُ إِذَا يَبِسَ? قَالُوا: نَعَمَ. فَنَهَى عَنْ ذَلِكَ ) رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ اَلْمَدِينِيِّ, وَاَلتِّرْمِذِيُّ, وَابْنُ حِبَّانَ, وَالْحَاكِمُِ 810.
Sa'ad Ibnu Abu waqqash Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam ditanya tentang hukumnya membeli kurma basah dengan kurma kering. Beliau bersabda: "Apakah kurma basah itu berkurang jika mengering?". Ia menjawab: Ya. Lalu beliau melarang hal itu. Riwayat Imam Lima. Hadits shahih menurut Ibnu al-Madiny, Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Hakim. 
وَعَنِ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا-; ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ بَيْعِ اَلْكَالِئِ بِالْكَالِئِ, يَعْنِي: اَلدَّيْنِ بِالدَّيْنِ ) رَوَاهُ إِسْحَاقُ, وَالْبَزَّارُ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ 811.
Dari Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam melarang jual-beli yang kemudian dengan yang kemudian, yakni hutang dengan hutang. Riwayat Ishaq dan al-Bazzar dengan sanad lemah. Ulasan: Walaupun hadist ini Da’if dan tidak dapat dijadikan dalil hukum, tetapi cara berjual seperti itu tetap dilarang, karena ada ijma’ ulama “tidak boleh menjual dengan hutang”. Jika akan memperpanjang hutang, maka lunaskan utang lama lebih dulu. 3. Hukum Riba: Pengharaman riba sesuai dengan tuntutan keadilan dan qiyas, karena transaksi dengan riba merupakan kezhaliman atau sarana yang menjurus kepada kezhaliman. Kerugian atau mudharat dari riba sangatlah banyak, diantaranya,penumpukan harta dengan cara yang tidak di syari’atkan, karena penumpukan itu terjadi dengan cara merampas harta orang miskin, lalu di gabung dengan pundi-pundi orang yang sudah kaya. Sehingga dalam hal ini akan menimbulkan permusuhan dan kebencian. Riba di haramkan oleh seluruh agama samawi, dianggap membahayakan oleh agama Yahudi, Nasrani dan Islam. Di dalam kitab Perjanjian Baru di nyatakan: “Jika kamu mengqiradhkan kepada orang yang kamu mengharapkan bayaran darinya, maka kelebihan yang diberikan olehmu. Tetapi lakukanlah kebaikan-kebaikan dan qiradhkanlah tanpa mengharapkan pengembaliannya. Dengan begitu pahalamu berlimpah ruah.” (ayat 34, 35, fasal 6 Injil Lukas). Berdasarkan nash ini, para grejawan sepakat mengharamkan riba secara total. Sedang dalam Al-Qur’an menyinggung masalah riba di berbagai tempat, tersusun kronologis berdasarkan urutan waktu. a. Pada periode Makkah, dalam firman Allah,
 وَمَٱاٰتَيْتُم مِنْ رِبًالِيَرْبُوَٱفِيْ اَمْوَالِ النَّاسِ فَلَايَرْبُواعِنْدَاللَّهِ.وَمآاٰتَيتُمْ مِنْ زَكٰوةٍ تُرِيْدُوْنَ وَجْهَ اللَّهِ فَاُولٰۤئِكَ ُهُمُ المُضعِفُوْنَ(الروم٣۹)
 “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah yang melipat gandakan pahalanya.”
 b. Pada periode Madinah, turun ayat yang mengharamkan riba secara jelas-jelas, yaitu:
 يآٰيُّهَاالَّذِينَ اٰمَنُوْاﻻتَأْكُلْواالرِّبٰٰوااَضْعَافًامَُضٰٰعَفَةً وَاتَّقُوااللّٰهَ لَعَلَكُمْ تُرْْحَمُونَ. ( ال عران ١٣٠)
 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu dikasihi.”
 c. Dan ayat yang terakhir yaitu Q.S. Al-Baqarah ayat 278 dan 279 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu yang meninggalkan sisa riba, ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan menerangimu. Dan jika kamu bertobat, bagimu pokok hartamu (modal), kamu tidak melakukan kezaliman dan tidak pula dizalimi.” Pada ayat ini terkandung penolakan tegas terhadap orang yang mengatakan bahwa riba tidak haram kecuali jika berlipat ganda, karena Allah tidak membolehkannya kecuali mengembalikan modal pokok tanpa ada pertambahan. Dan ayat ini merupakan ayat terakhir berkaitan masalah riba.

 C. IQRAR (PENGAKUAN) اَلْإِقْرَارِِ
A. Pengertian Iqrar : Yaitu, mengakui kebenaran sesuatu yang bersangkutan dengan dirinya untuk orang lain. Misalnya, seseorang berkata, “Saya mengaku bahwa saya telah berhutang dengan orang ini.”
" Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan."
 Ulasan : kata ahli tafsir, saksi atas diri sendiri itulah yang dimaksud dengan ikrar. Ikrar tersebut berguna untuk membuktikan kebenaran, melahirkan budi pekerti yang baik, dan menjauhkan diri dari sesuatu yang batil.

 B. Rukun iqrar
 1. Yang mengaku, disyaratkan keadaannya ahli tasharruf dan sekehendaknya (dengan kemauan sendiri)
 2. Yang diakui olehnya (muqar lah), hendaklah keadaannya berhak memiliki sesuatu yang diakuinya.
3. Hak yang diakui, disyaratkan keadaan yang sebenarnya, bukan kepunyaan yang mengakui ketika ia ikrar. 4. Lafazd. Syaratnya, hendalah menunjukkan ketentuan yang diakui. Maksudnya, jika yang diakui tadi adalah yang bersangkutan semata-mata dengan Allah, minum arak misalnya, maka si pengaku boleh membatalkan pengakuannya. Umpamanya, “Saya sebenarnya tidak minum arak”. Maka siksaan minum tidak dilakukan kepaanya. Adapun bila yang diakui adalah hak manusia, tidak sah dibatalkan. Kalau hak yang diakui itu kurang jelas, maka mintalah penjelasan, dan penjelasan itu hendaklah diterima. Hadits No. 911 َنْ أَبِي ذَرٍّ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ لِي رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( قُلِ اَلْحَقَّ, وَلَوْ كَانَ مُرًّا ) صَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ فِي حَدِيثٍ طَوِيلٍ Abu Dzar Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepadaku: "Katakanlah yang benar walaupun ia pahit." Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dari hadits yang panjang." Ulasan: "bahwa kebenaran harus ditegakan, meskipun dengan resiko yang berat, sabda tersebut secara tersirat juga menunjukan bahwa mengatakan sesuatu yang benar tidaklah selalu mudah, karena kebenaran yang kita ungkapkan itu dapat berakibat memakan atau mengenai diri kita sendiri"

D. ‘ARIYAH اَلْعَارِيَة (PINJAM-MEMINJAM)
 A. Pengertian: ‘Ariyah ialah memberikan manfaat sesuatu yang halal kepada yang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusakkan zatnya, agar zat barang itu dapat dikembalikan. Meminjamkan sesuatu berarti menolong yang meminjam. Hadits No. 912 ََعَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( عَلَى اَلْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَهُ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَالْأَرْبَعَةُ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Allah berfirman: Aku menjadi orang ketiga dari dua orang yang bersekutu selama salah seorang dari mereka tidak berkhianat kepada temannya. Jika ada yang berkhianat, aku keluar dari (persekutuan) mereka." Riwayat Abu Dawud dan dinilai shahih oleh Hakim. Ulasan: " yang dimaksud adalah Allah sebagai saksi dalam perjanjian yang mereka ucapkan tetapi hanya selama mereka tak saling berkhianat " Hadits No. 913 َوَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( أَدِّ اَلْأَمَانَةَ إِلَى مَنْ اِئْتَمَنَكَ, وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ, وَاسْتَنْكَرَهُ أَبُو حَاتِمٍ اَلرَّازِيُّ Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Tunaikanlah amanat kepada orang yang memberimu amanat dan janganlah berkhianat kepada orang yang menghianatimu." Riwayat Tirmidzi dan Abu Dawud. Hadits hasan menurut Abu Dawud, shahih menurut Hakim, dan munkar menurut Abu Hatim Ar-Razi. Hadits itu diriwayatkan juga oleh segolongan huffadz. Ia mencakup masalah pinjaman. Ulasan: " yang dimaksud adalah sampaikan amanah sebagaimana engkau telah menerima amanah itu dari orang yang telah memberimu amanat dan janganlah engkau balas keburukan dengan keburukan ibarat engkau dikhianati jangan kau balas dengan menghianatinya pula " Hadits No. 914 َوَعَنْ يَعْلَى بْنِ أُمَيَّةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِذَا أَتَتْكَ رُسُلِي فَأَعْطِهِمْ ثَلَاثِينَ دِرْعاً , قُلْتُ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! أَعَارِيَةٌ مَضْمُونَةٌ أَوْ عَارِيَةٌ مُؤَدَّاةٌ? قَالَ: بَلْ عَارِيَةٌ مُؤَدَّاةٌ ) رَوَاهُ أَحْمَدُ, وَأَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ Ya'la Ibnu Umayyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda kepadaku: "Apabila utusanku datang kepadamu, berikanlah kepada mereka tiga puluh baju besi." Aku berkata: Wahai Rasulullah, apakah pinjaman yang ditanggung atau pinjaman yang dikembalikan? Beliau bersabda: "Pinjaman yang dikembalikan." Riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban. Ulasan: " yang dimaksud dengan pinjaman yang ditanggung ialah pinjaman yang terjamin barang pinjaman yang harus ditanggung resikonya ( bila cacat harus diganti) yang dimaksud dengan pinjaman tertunaikan ialah pinjaman yang harus dikembalikan seperti semula" Hadits No. 915 َوَعَنْ صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ; ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم اِسْتَعَارَ مِنْهُ دُرُوعاً يَوْمَ حُنَيْنٍ. فَقَالَ: أَغَصْبٌ يَا مُحَمَّدُ? قَالَ: بَلْ عَارِيَةٌ مَضْمُونَةٌ ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمَُوَعَنْ صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ; ( أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم اِسْتَعَارَ مِنْهُ دُرُوعاً يَوْمَ حُنَيْنٍ. فَقَالَ: أَغَصْبٌ يَا مُحَمَّدُ? قَالَ: بَلْ عَارِيَةٌ مَضْمُونَةٌ ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيُّ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ Dari Shofwan Ibnu Umayyah Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam meminjam darinya beberapa baju besi sewaktu perang Hunain. Ia bertanya: Apakah ia rampasan, wahai Muhammad. beliau menjawab: "Tidak, ia pinjaman yang ditanggung." Riwayat Abu Dawud, Ahmad, dan Nasa'i. Hadits shahih menurut Hakim. Ulasan: " yang dimaksud dengan pinjaman yang ditanggung ialah pinjaman yang terjamin barang pinjaman yang harus ditanggung resikonya ( bila cacat harus diganti)" Hadits No. 916 َوَأَخْرَجَ لَهُ شَاهِدًا ضَعِيفًا عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ Hakim juga meriwayatkannya dengan saksi lemah dari Ibnu Abbas r.a. Ulasan: " saksi lemah ialah saksi yang kurang kuat pernyataannya "
 B. Hukum ‘Ariyah (Pinjam-meminjam)
Hukumnya: asal hukum meminjamkan sesuatu itu sunnah, seperti tolong-menolonhg dengan yang lain. Dan kadang-kadang menjadi wajib jika seperti meminjamkan kain kepada orang yang tepaksa atau meminjamkan pisau untuk menyembelih hewan yang hampir mati. Tapi bisa juga hukumnya haram, jika yang dipinjamkan itu untuk sesuatu yang haram. Kaidah : “jalan menuju sesuatu hukumnya sama dengan hukum yang dituju.” Misalnya : seorang yang menunjukkan jalan untuk orang yang akan mencuri, maka keadaannya sama dengan ia melakukan pencurian itu.

 C. Rukun meminjam
 1) Ada yang meminjmkan. Syaratnya yaitu:
 • Ahli (berhak) berbuat kebaikan sekehendaknya. Anak kecil dan orang yang dipaksa, tidak sah meminjamkan.
 • Manfaat barang yang pinjamkan dimiliki oleh yang meminjamkan, sekalipun dengan jalan wakaf atau menyewa, karena meminjam hanya bersangkutan dengan manfaat, bukan bersangkutan dengan zat.
2) Ada yang meminjam.
3) Ada lafaz (ijab qabul).

 D. WADI’AH (PETARUH)
1. Pengertian Pengertian bahasa adalah “Meninggalkan atau meletakkan. Yaitu meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara atau dijaga”. Sedangkan dalam istilah : “Memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya/ barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan isyarat yang semakna dengan itu”. Kata wadi’ah berasal dari wada’asy syai-a, yaitu meninggalkan sesuatu. Sesuatu yang seseorang tinggalkan pada orang lain agar dijaga disebut wadi’ah, karena dia meninggalkannya pada orang yang sanggup menjaga1. Secara harfiah, Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya. Ada dua definisi yang dikemukakan oleh ulama fiqh, yaitu : a. Ulama madzhab hanafi mendefinisikan : تسليط الغير على حفظ ماله صارحا أو دلالة “ mengikut sertakan orang lain dalam memelihara harta baik dengan ungkapan yang jelas maupun isyarat”. Umpamanya ada seseorang menitipkan sesuatu pada seseorang dan si penerima titipan menjawab ia atau mengangguk atau dengan diam yang berarti setuju, maka akad tersebut sah hukumnya. b. Madzhab Hambali, Syafi’I dan Maliki ( jumhur ulama ) mendefinisikan wadhi’ah sebagai berikut : توكيل في حفظ مملوك على وجه مخصوص “ mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu “ Dalam bidang ekonomi syariah, wadiah adalah titipan nasabah yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat nasabah yang bersangkutan menghendaki. Bank bertanggungjawab atas pengembalian titipan tersebut.

2. Wadiah sendiri dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Wadiah Yad Dhamanah - wadiah di mana si penerima titipan dapat memanfaatkan barang titipan tersebut dengan seizin pemiliknya dan menjamin untuk mengembalikan titipan tersebut secara utuh setiap saat kala si pemilik menghendakinya.
b. Wadiah Yad Amanah - wadiah di mana si penerima titipan tidak bertanggungjawab atas kehilangan dan kerusakan yang terjadi pada barang titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan penerima titipan dalam memelihara titipan tersebut

3. Hukum Wadi’ah Landasan Syariah, “Sesungguhnya Allah telah menyuruh kamu agar menyampaikan amanat kepada ahlinya.” (4 : 58). “Dan hendaklah orang yang diberikan amanat itu menyampaikan amanatnya” (2: 283). “Tunaikanlah amanah yang dipercayakan kepadamu dan janganlah kamu mengkhiatani terhadap orang yang telah mengkhianatimu” . H. R. Abu Dawud dan Tirmidzi.

4. Rukun Wadiah :
 a. Muwaddi’ ( Orang yang menitipkan).
b. Wadii’ ( Orang yang dititipi barang).
c. Wadi’ah ( Barang yang dititipkan).
d. Shighot ( Ijab dan qobul).
Syarat Rukun Yang dimaksud dengan syarat rukun di sini adalah persyaratan yang harus dipenuhi oleh rukun wadiah. Dalam hal ini persyaratan itu mengikat kepada Muwaddi’, wadii’ dan wadi’ah. Muwaddi’ dan wadii’ mempunyai persyaratan yang sama yaitu harus balig, berakal dan dewasa. Sementara wadi’ah disyaratkan harus berupa suatu harta yang berada dalam kekuasaan/ tangannya secara nyata. Sifat akad wadiah Karena wadiah termasuk akad yang tidak lazim, maka kedua belah pihak dapat membatalkan perjanjian akad ini kapan saja. Karena dalam wadiah terdapat unsur permintaan tolong, maka memberikan pertolongan itu adalah hak dari wadi’. Kalau ia tidak mau, maka tidak ada keharusan untuk menjaga titipan. Namun kalau wadii’ mengharuskan pembayaran, semacam biaya administrasi misalnya, maka akad wadiah ini berubah menjadi “akad sewa” (ijaroh) dan mengandung unsur kelaziman. Artinya wadii’ harus menjaga dan bertanggung jawab terhadap barang yang dititipkan. Pada saat itu wadii’ tidak dapat membatalkan akad ini secara sepihak karena dia sudah dibayar.

 5. Jenis-jenis Wadiah :
 a. Wadiah yad amanah Pada keadaan ini barang yang dititipkan merupakah bentuk amanah belaka dan tidak ada kewajiban bagi wadii’ untuk menanggung kerusakan kecuali karena kelalaiannya.
b. Wadiah yad dhomanah. Wadiah dapat berubah menjadi yad dhomanah, yaitu wadii’ harus menanggung kerusakan atau kehilangan pada wadiah, oleh sebab-sebab berikut ini:
• wadii’ menitipkan barang kepada orang lain yang tidak biasa dititipi barang.
 • wadii’ meninggalkan barang titipan sehingga rusak.
• memanfaatkan barang titipan.
 • bepergian dengan membawa barang titipan.
• jika wadii’ tidak mau menyerahkan barang ketika diminta muwaddi’, maka ia harus menanggung jika barang itu rusak.
 • mencampur dengan barang lain yang tidak dapat dipisahkan.  

BAB III PENUTUP KESIMPULAN
 Sejak dilahirkan sampai meninggal dunia manusia selalu mengadakan hubungan dengan manusia lain. Hubungan ini timbul berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohaninya. Untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani manusia selalu mewujudkan dalam suatu kegiatan yang lazim disebut sebagai “tingkah laku”. Dan tingkah laku yang kelihatan sehari-hari terjadi sebagai hasil proses dari adanya minat yang diniatkan dalam suatu gerak untuk memenuhi kebutuhan saat tertentu. Sebagai manusia kita tidak akan pernah dipisahkan dengan yang namanya pinjam-meminjam atau ‘ariyah. Karena kita bahwa semua yang kita butuhkan itu tidak semuanya kita memilikinya. Oleh karena itulah maka adanya pinjam-meminjam atau ‘ariyah. Riba merupakan dosa yang sangat besar, Riba banyak ataupun sedikit hukumnya sama, Seorang mukmin wajib berdiri di atas batas-batas hukum syara' yaitu menjahui semua yang diharamkan Allah dan Senjata yang paling ampuh yang dapat melindungi diri seorang muslim dari menyalahi hukum Allah itu ialah bertakwa kepada Allah. Iqrar (pengakuan) ialah seseorang mengaku mempunyai tanggungan terhadap orang lain, misalnya ia berkata, “Zaid mempunyai piutang padaku sebesar lima puluh ribu dirham,” atau ia berkata, “Perabotan ini milik si fulan”. Iqrar (pengakuan) diterima dari siapa? Iqrar (pengakuan) orang berakal dan baligh itu diterima, sedang iqrar (pengakuan) orang gila, anak kecil dan orang yang dipaksa tidak diterima, karena mereka tidak mendapatkan taklif, karena rasululloh shallallahu’alaihi wa salam bersabda “Pena diangkat dari tiga orang, dari anak kecil hingga bermimpi, dari orang tidur hingga bangun, dari orang gila hingga normal kembali”. Landasan Syariah wadi’ah, “Sesungguhnya Allah telah menyuruh kamu agar menyampaikan amanat kepada ahlinya.”. “Dan hendaklah orang yang diberikan amanat itu menyampaikan amanatnya”. “Tunaikanlah amanah yang dipercayakan kepadamu dan janganlah kamu mengkhiatani terhadap orang yang telah mengkhianatimu” . H. R. Abu Dawud dan Tirmidzi.
DAFTAR PUSTAKA
 Abdullah bin Adurrahman Ali Bassam, 1992, Syarah Hadits Pilihan Bukhari-Muslim, Jakarta: Darul Falah Taqiyuddin Abu Bakar Imam bin Muhammad Alhusaini, 1978, Kifayatul Akhyar (Kelengkapan Orang-orang Shalih), Semarang: PT. Karya Toha Putra H.Rasjid Sulaiman, 2004, Fiqih Islam, cet.50, Bandung: Sinar Baru Algensindo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar