Sabtu, 25 Mei 2013

Hukum Jual Beli



BAB I
PENDAHULUAN

Allah SWT. telah menjadikan manusia masing-masing saling membutuhkan satu sama lain, supaya mereka tolong-menolong, tukar-menukar keperluan dalam segala urusankepentingan hidup masing-masing, baik dengan jalan jual beli, sewa-menyewa, bercocok tanam atau perusahaan yang lainnya, baik dalam urusan kepentingan sendiri maupun untuk kemaslahatan umum. Dengan cara demikian kehidupan masyarakat menjadi teratur dan subur, pertalian yang satu dengan yang lain pun menjadi teguh. Akan tetapi, sifat tamak pada manusia tetap ada, suka mementingkan diri sendiri supaya hak masing-masing jangan sampai tersia-sia, dan juga menjaga kemaslahatan umum agar pertukaran dapat berjalan dengan lancer dan teratur. Oleh sebab, agama member peraturan yang sebaik-baiknya: karena dengan teraturnya muamalat maka kehidupan manusia jadi terjamin pula dengan sebaik-baiknya sehingga perbantahan dan dendam tidak akan terjadi.

            Allah menciptakan manusia dengan minat dan niatnya untuk selalu mengadakan hubungan antar sesama manusia. Dan hubungan itu dimaksudkan agar selama hidup akan terjadi kegiatan saling bantu membantu dalam memenuhi kebutuhan hidup masing-masing supaya terbentuk kehidupan sosial yang sejahtera, bahagia lahir dan batin.
Nasehat Luqmanul Hakim kepada anaknya, “wahai anakku berusahalah untuk menghilangkan kemiskinan dengan usaha yang halal. Sesungguhnya orang yang berusaha dengan jalan halal itu tidak akan medapat kemiskinan, kecuali dia di hinggapi oleh tiga macam penyakit:
1.      Tipis kepercayaan agamanya
2.      Lemah akalnya
3.      Hilang kesopanannya.
Jadi, yang dimaksud dengan muamalat adalah tukar menukar barang yang bermanfaat dengan cara yang ditentukan seperti jual beli, sewa menyewa, upah, pinjam meminjam dan sebagainya.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN JUAL BELI
        Pengertian jual beli (الْبَيْعً) menurut bahasa ialah, “mempertukarkan sesuatu dengan sesuatu”.[1] Dengan kata lain memeberikan sesuatu dengan imbalan sesuatu atau menukarkan sesuatu dengan yang lain. Ia merupakan sebuah nama yang mencakup pengertian terhadap kebalikannya yakni al-syira’ (membeli). Demikian al-bai’ sering diterjemahkan dengan jual beli.
Pengertian al-bai’ secara istilah para fuqaha menyampaikan definisi yang berbeda-beda antara lain sebagai berikut ini.[2]
1.      Menurut fuquha Hanafiyah : Menukarkan harta dengan harta melalui tata cara tertentu, atau mempertukarkan sesuatu yang disenangi dengan sesuatu yang lain melalui tata cara tertentu yang dapat dipahami sebagai al-bai’, seperti melalui ijab dan ta’athi (saling menyerahkan).
2.      Menurut Imam Nawawi : Memepertukarkan harta dengan harta untuk tujuan pemilikan
3.      Menurut Ibnu Qudamah : Mempertukarkan harta dengan harta dengan tujuan pemilikan dengan penyerahan hak milik.
Pengertian jual beli

B.     RUKUN DAN SYARAT JUAL BELI
1.   Penjual dan pembeli
a.       Berakal
 orang yang gila atau bodoh tidak sah jual belinya.
b.      Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa)
      Niat penuh kerelaan yang ada bagi setiap pihak untuk melepaskan hak miliknya dan memperoleh tukaran hak milik orang lain harus “suka sama suka” untuk melakukannya. Kalau pemaksaan dilakukan walaupun terjadi ata sepakat, maka jual belinya tidak sah.
c.       Baligh
      Para pihak yang dapat melakukan tindakan jual beli kalau dilihat dari tingkat usia mencapai 15 tahun. Bagi seseorang yang belum mencapai usia itu tidak sah melakukan jual beli kecuali atas tanggung jawab walinya terhadap barang-barang yang mempunyai nilai kecil.
d.       Bukan Pemboros
      Para pihak dapat menjaga hak miliknya sebagaimana dirinya memiliki hak dan kewajiban untuk dapat melakukan tindakan hukum sendiri. Bagi orang yang masih dibawah umur tidak dapat melakukan tindakan hukum sendiri, karena harta yang dimiliki ada dalam keadaan mubazir bagi dirinya dan berada di tangan walinya.

2.   Benda yang dijual belikan
a.       Suci
      Barang najis tidak sah dijual dan setiap benda yang menurut perintah agama dan kebersihannya dianggap tidak ada, akan termasuk benda haram atau najis. Larangan ini dimaksudkan untuk menghilangkan sifat materialistis manusia bahwa bagi setiap benda dapat diperjual belikan.
b.      Ada manfaatnya
      Tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Setiap benda yang akan dijualbelikan sifatnya dibutuhkan pada umumnya dalam kehidupan manusia. Bagi benda yang tidak mempunyai kegunaan dilarang untuk dijual belikan dengan benda lain, karena termasuk dalam arti perbuatan yang menyia-nyiakan harta yang dilarang Allah.
c.       Barang harus dalam keadaan nyata (konkrit)
      Disyaratkan dalam  jual beli bahwa benda sebagai objek hukum yang harus benar-benar dapat diserahterimakan sesaat setelah terjadi aqad. Misalnya, ikan dalam laut, barang rampasan yang masih berada ditangan yang merampasnya.
d.      Barang tersebut merupakan kepunyaan si penjual
      Kepunyaan yang diwakilinya atau mengusahakan. Benda sebagai objek jual beli merupakan hak milik penjual atau dikuasakan kepeda seseorang tertentu untuk dijualkan.
e.       Barang tersebut diketahui oleh penjual dan pembeli
      Sesuatu yang berbentuk dengan ukuran, zat, kadar dan sifat-sifatnya jelas yang diketahui oleh kedua belah pihak. Hal ini sangat perlu untuk menghindari timbulnya peristiwa hukum lain setelah terjadi perikatan.

3.   Ijab dan Kabul
        Jual beli sebagai suatu perikatan akan menimbulkan hak dan kewajiban para pihak (penjual-pembeli) setelah terjadi kata sepakat. Hak dan kewajiban itu diwujudkan dengan pemindahan hak milik masing-masing pihak. Sedangkan kata sepakat yang terjadi merupakan pernyataan  masing-masing pihak sebelum pemindahan hak milik dilakukan dan disebut “Ijab-Kabul”. Ucapan ijab dan Kabul itu sebagai tanda jadi jual beli barang. Pernyataan  ijab dan Kabul sebagai akhir proses tawar menawar yang merupakan kata sepakat.
        Ijab adalah perkataan penjual. Seperti “saya menjual barang ini sekalian”. Kabul adalah ucapan pembeli, “saya terima dengan harga sekian”. Suka sama suka itu tidak dapat di ketahui dengan jelas kecuali dengan perkataan, karena perasaan suka itu bergantung pada hati masing-masing.



C.     BEBERAPA JUAL BELI YANG SAH, TAPI DILARANG
              Rukun-rukun dan syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam jual beli kalau dipenuhi akan menimbulkan peristiwa hukum jual beli dalam pelaksanaannya. Dan jual beli menurut hukum islam bersifat terbuka, hatinya siapapun boleh melakukannya asalkan rukun-rukun dan syarat-syartnya terpenuhi. Tetapi sifat terbuka dalam jual beli itu tergantung dari cara yang digunakan. Cara yang menimbulkan persaingan antar pihak karena kepentingannya tidak diizinkan, sebab dengan cara itu tidak menimbulkan pemerataan pendapatan antar para penjaul, suatu cara yang digunakan tetapi tidak diizinkan itu akan menjadi cermin perbandingn dalam kehidupan dunia perdagangan dewasa ini, sehingga sering menimbulkan ketidak stabilan ekonomis.
                Mengenai jual beli yang tidak diizinkan oleh agama, disini akan diuraikan beberapa cara saja sebagai contoh perbandingan bagi yang lainnya. Yang menjadi sebab timbulnya larangan itu antara lain:
a.       Menyakiti penjual, pembeli atau orang lain
            Dalam peristiwa hukum jual beli banyak dijumpai banyak cara yang digunakan oleh orang khususnya untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Salah satu cara yang sering menimbulkan perlakuan tidak adil dalam jual beli yang tidak dapat ditawar lagi dan kalau dilakukan kemungkinan menimbulkan umpat-umpatan. Dan tentunya tidak dapat dihindari akan terjadinya konflik.
b.      Menyempitkan kemampuan daya beli masyarakat
            Hal ini berkenaan dengan kegiatan tingkah laku dalam jual beli yang menimbulkan naiknya harga waluapun harga banyak tersedia dipasaran tertentu  atau turunnya harga ditempat tertentu lainnya.



c.       Merusak kehidupan perekonomian masyarakat
            Maksudnya dengan penggunaan spekulasi dagang dan menumpuk barang dengan harapan pada suatu waktu harga menjadi naik akan menimbulkan keterbasan peredaran barang.

                 Ketiga faktor ini kalau terjadi mungkin berakibat stabilitas perekonomian terganggu, sehingga akan dapat menimbulkan jurang pemisah antara yang mampu dan tidak mampu bahkan berakibat fatal lainnya berupa kejahatan akan dapat terjadi. Karena itu suatu kegiatan yang tidak menunjukkan perdamaian antar sesame manusia dalam jual beli tidak dibenarkan.

Beberapa jual beli yang sah, tapi dilarang adalah sebagai berikut:
1.      Membeli barang dengan harga yang lebih mahal daripada harga pasar, sedangkan dia tidak menginginkan barang itu tetapi semata-mata supaya orang lain tidak dapat membeli barang itu.
2.      Membeli barang yang sudah dibeli orang lain masih dalam masa khiyar
3.      Mencegat orang-orang yang dating dari desa di luar kota, lalu membeli barangnya sebelum mereka sampai ke pasar dan sewaktu itu mereka belum mengetahui harga pasar
4.      Membeli barang untuk ditahan agar dapat dijual dengan harga yang lebih mahal, sedangkan masyarakat umum memerlukan barang itu. Dilarang karna dapat merusak ketentraman umum
5.      Menjual suatu barang yang berguna, tetapi kemudian dijadikan alat maksiat oleh pembelinya
6.      Jual beli yang disertai tipuan. Berarti jual beli itu ada tipuan, baik dari piha penjual dan pembeli, pada barang ataupun ukuran dan timbangannya.




D.    HUKUM-HUKUM DALAM JUAL BELI
            Jual beli walaupun merupakan aqad, tetapi dalam pelaksaannya para pihak yang menyelenggarakan dikenakan hukum-hukum agama karena kegiatannya. Dan ketentuan hukum yang didapat dikenakan kepada para pihak itu, ialah:
1.      Mubah (boleh), artinya setiap orang islam dalam mencari nafkahnya boleh dengan cara jual beli dan yang memenuhi syarat.
2.      Wajib, artinya apabila dalam mempertahankan hidup ini hanya satu-satunya (jual beli) yang mungkin dilaksanakan oleh seseorang.
3.      Haram, yaitu jual beli barang yang dilarang oleh agama dan tidak memenuhi rukun dan syarat jual beli.
4.      Sunat, yaitu apabila menjual sesuatu kepada seseorang yang sangat membutuhkan barang tersebut.



E.     DASAR HUKUM JUAL BELI
Firman Allah SWT QS.Al-Baqarah {2}: 275 :
وَاَحَلَّ اللهً الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبوا
“ Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ”.

Firman Allah SWT QS.An-Nisa {4}: 29 :
ياَيًّحَاالَّذِيْنَ امَنٌوْالاَتَأْكُلُوْااَمْوَالَكُمْ بَيْنَكٌمْ بِاالْبَاطِلِ اِلااَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةًعَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ
“ Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan bathil kecuali dengan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu “

Sabda Rasulullah SAW :
لاَبَيْعَ اِلاََّفِيْمَايُمْلَكُ. رواه ابوداوودوالترمدي
“ Tidak sah jual beli selain mengenai barang yang dimiliki “
    
III
PENUTUP

KESIMPULAN
            Sejak dilahirkan sampai meninggal dunia manusia selalu mengadakan hubungan dengan manusia lain. Hubungan ini timbul berkenaan dengan pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohaninya. Untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani manusia selalu mewujudkan dalam suatu kegiatan yang lazim disebut sebagai “tingkah laku”. Dan tingkah laku yang kelihatan sehari-hari terjadi sebagai hasil proses dari adanya minat yang diniatkan dalam suatu gerak untuk memenuhi kebutuhan saat tertentu.
            Jual beli ialah menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara tertentu (akad). Dalam surat Al-Baqarah : 275 dijelaskan bahwa “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”


DAFTAR PUSTAKA
H. Rasjid Sulaiman, 1994, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Islam), Bandung,  PT. Sinar Baru Algensido Offest
R. Djamali Abdul, 2002, Hukum Islam, Bandung, CV. Mandar Maju
A. Ghufron Mas’adi, 2002, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada



[1] Abdurahman al-Zajairiy, Kitab al-Fiqh ‘Ala Madzhahibil Arba’ab, Darul Fikri, Bairut, Juz II, hlm. 141.
[2] Beberapa pengertian al-bai’ secara istilah ini dikutip dari wahbah al-zuhaili, al-fiqh al-islamy wa adillatuhu, Juz IV, hlm. 344-355

Tidak ada komentar:

Posting Komentar