Sabtu, 25 Mei 2013

Khiyar Dalam Jual Beli


KHIYAR DALAM JUAL BELI

            Makna Khiyar berarti boleh memilih antara dua, apakah akan meneruskan jual beli atau mau membatalkannya.[1] Menurut ulama fikih yang dikutip oleh Rachmat Syai’i, pengertian khiyar adalah: “Suatu keadaan yang menyebabkan aqid memiliki hak untuk memutuskan akadnya (menjadikan atau membatalkannya) jika khiyar tersebut berupa khiyar syarat, aib, atau ru’yah, atau hendaklah memilih di antara dua barang jika khiyar ta’yin”.[2]
Di adakan khiyar oleh syara’ agar kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan kemaslahatan masing – masing lebih jauh, supaya tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari lantaran merasa tertipu.
Fungsi khiyar menurut Syara’ adalah agar kedua orang yang berjual beli dapat memikirkan dampak positif negative masing – masing dengan pandangan ke depan, supaya tidak terjadi penyesalan dikemudian hari yang disebabkan merasa tertipu atau tidak adanya kecocokan dalam membeli barang yang telah dipilih.
            Khiyar terbagi menjadi tiga, yaitu khiyar majlis, khiyar syarat dan khiyar ‘aib, berikut ini uraiannya.
1.      Khiyar Majlis
Khiyar Majlis, artinya antara penjual dan pembeli boleh memilih akan melanjutkan jual beli atau membatalkannya. Selama keduanya masih ada dalam satu tempat. Khiyar Majlis boleh dilakukan dalam berbagai jual beli, Rasulullah saw. Bersabda:
اَلْبَيْعَانِ بِالْخِيَارِمَالَمْ يَتَفَرَّقَا ( رواه البخارومسلم )

“ Penjual dan pembeli boleh khiyar (akan meneruskan jual beli mereka atau tidak) selama belum berpisah.“ (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Bila keduanya telah berpisah dari tempat akad tersebut, maka Khiyar Majlis tidak berlaku lagi. Menurut ulama fikih, Khiyar Majlis adalah : “Hak bagi semua pihak yang melakukan akad untuk membatalkan akad selagi masih berada di tempat akad dan kedua belah pihak belum berpisah. Keduanya saling memilih sehingga muncul kelaziman dalam akad.”[3]
            Khiyar Majlis ini dikenal di kalangan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah. Berkenaan dengan Khiyar Majlis, pendapat para ulama terbagi atas dua bagian, sebagai berikut :
a.       Ulama Hanafiyah dan Malikiyah
Golongan ini berpendapat bahwa akad dapat menjadi lazim dengan adanya ijab dan Kabul, serta tidak bias hanya dengan Khiyar, sebab Allah swt, menyuruh untuk menepati janji. Selain itu, suatu akad tidak akan sempurna, kecuali dengan adanya keridaan. Sebagaimana tersirat dalam Al-Qur’an (QS. An – Nisa:29) yang artinya:”….. kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu….”. Sedangkan keridaan hanya dapat diketahui dengan ijab dan Kabul.
Dengan demikian, keberadaan akad tidak dapat digantungkan atas Khiyar Majlis. Golongan ini tidak mengambil hadis – hadis yang berkenaan dengan Khiyar Majlis, sebab mereka tidak mengakuinya. Selain itu, adanya keumuman tentang ayat di atas.
b.      Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah
Berpendapat adanya Khiyar Majlis. Kedua golongan ini berpendapat bahwa jika pihak yang akad menyatakan ijab dan Kabul, akad tersebut masih termasuk akad yang boleh atau tidak lazim selagi keduanya masih berada di tempat tersebut dan belum terpisah badannya. Keduanya masih memiliki kesempatan untuk membatalkan, menjadikan atau saling berfikir. Adapun batasan dari kata berpisah diserahkan kepada adat atau kebiasaan manusia yang bermuamalah. [4]
Habislah Khiyar Majlis apabila:
1)      Keduanya memilih akan meneruskan akad. Jika salah seorang dari keduanya memilih akan meneruskan akad, habislah Khiyar dari pihaknya, tetapi hak yang lain masih tetap.
2)      Keduanya terpisah dari tempat jual beli. Arti berpisah ialah menurut kebiasaan. Apabila kebiasaan telah menghukum bahwa keadaan keduanya sudah berpisah, tetaplah jual beli antar keduanya. Kalau kebiasaan mengatakan belum berpisah, masih terbukalah pintu Khiyar antara keduanya. Kalau keduanya berselisih umpamanya seorang mengatakan sudah berpisah, sedangkan yang lain mengatakan belum yang mengatakan belum hendaklah dibenarkan dengan sumpahnya, karena yang asal belum  berpisah.

2.      Khiyar Syarat
Khiyar Syarat yaitu penjualan yang didalamnya disyaratkan sesuatu, baik oleh penjual maupun pembeli. Artinya khiyar itu boleh dijadikan syarat sewaktu akad oleh keduanya atau oleh salah seorang, Seperti seseorang berkata,” Saya jual rumah ini dengan harga Rp.100.000.000,00. Dengan syarat khiyar selama tiga hari.”[5]
Rasulullah saw, bersabda :
أَنْتَ بِالْخِيَارِ فِى كُلِّ سِلْعَة اَبْتَعْتَهَا ثَلاَ ثَ لَيَالَ (رؤاه البيهقى)
“ Kamu boleh berhiyar pada setiap yang telah dibeli selama tiga hari tiga malam.” (Riwayat Baihaqi)
Pengertian Khiyar syarat menurut ulama fikih adalah: “ Suatu keadaan yang membolehkan seseorang yang berakad atau masing – masing yang berakad atau selain kedua pihak yang berakad memiliki hak atas pembatalan atau penetapan akad selama waktu yang ditentukan.”[6]
Misalnya, seorang pembeli brkata: ”Saya beli dari Anda barang ini, dengan catatan saya ber-khiyar (pilih – pilih) selama sehari atau tiga hari.”
Barang yang terjual itu sewaktu dalam masa Khiyar kepunyaan orang yang mensyaratkan Khiyar, kalau yang Khiyar hanya salah seorang dari mereka. Tetapi kalau keduanya  - duanya mensayaratkan Khiyar, maka barang itu tidak tidak dipunyai oleh seorang pun dari keduanya. Jika jual beli sudah tetap akan diteruskan, barulah diketahui bahwa barang itu kepunyaan pembeli mulai dari masa akad. Tetapi kalau jual beli tidak dituruskan, barang itu tetap kepunyaan si penjual. Untuk meneruskan jual beli atau tidaknya, hendaklah dengan lafaz yang jelas menunjukkan terus atau tidaknyaa jual beli.

3.      Khiyar ‘Aib (cacat)
a.       Arti dan landasan Khiyar ‘Aib
Artinya si pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya apabila pada barang itu terdapat suatu cacat yang mengurangi kualitas barang itu, atau mengurangi harganya, sedangkan biasanya barang yang seperti itu baik. Dan sewaktu akad cacatnya itu sudah ada, tetapi si pembeli tidak tahu, atau terjadi sesudah akad, yaitu sebelum di terimanya.
Menurut ulama fikih adalah: “Keadaan yang membolehkan salah seorang yang berakad memiliki hak untuk membatalkan akad atau menjadikannya ketika ditemukan aib (kecacatan) dari salah satu yang dijadikan alat tukar menukar yang tidak diketahui pemiliknya waktu akad.”[7]
Dengan demikian, penyebab Khiyar ‘Aib adalah adanya cacat pada barang yang dijualbelikan (ma’qud ‘alaih) atau harga (tsaman), karena kurang nilainya atau tidak sesuai dengan maksud, atau orang yamg akad tidak meeliti kecacatannya ketika akad berlangsung.
b.      Aib mengharuskan khiyar
Ulama hanafiyah dan hanbaliah berpendapat, bahwa ‘Aib pada Khiyar adalah segala sesuatu yang menunjukkan adanya kekurangan dari aslinya. Misalnya, berkurang nilainya menurut adat, baik berkurang sedikit atau banyak.
Menurut ulama Syafi’iyah, Khiyar adalah segala sesuatu yang dapat dipandang berkurang nilainya dari barang yang dimaksud atau tidak adanya barang yang dimaksud, seperti sempitnya sepatu, potongannya tidak sesuai, atau adanya cacat pada bina yang henda dipotong.
c.       Syarat tetapnya Khiyar
Disyaratkan untuk tetapnya Khiyar ‘Aib setelah diadakan penelitian yang menunjukkan hal – hal berikut ini :
1)      Adanya ‘aib setelah akad atau sebelum diserahkan, yakni ‘aib tersebut telah lama ada. Jika adanya setelah penyerahan atau ketika berada di tangan pembeli, ‘aib tersebut tidak tetap.
2)      Pembeli tidak mengetahui adanya cacat ketika akad berlangsung dan penerimaan barang. Sebaliknya, jika pembeli sudah mengetahui adanya cacat ketika menerima barang, maka tidak ada khiyar, sebab ia dianggap telah ridha’.
3)      Pemilik barang tidak mensyaratkan agar pembeli membebaskan jika ada cacat. Dengan demikian, jika penjual mensyaratkannya, gugurlah hak khiyar. Jika pembeli membebaskannya, gugurlah hak dirinya. Hal ini sesuai dengan pendapat ulama Hanafiyah.
Ulama Syai’iyah, Malikiyah serta salah satu riwayat dari Hanabillah berpendapat, bahwa seorang penjual tidak sah minta dibebaskan kepada pembeli kalau ditemukan ‘aib, apabila aib tersebut sudah diketahui oleh keduanya, kecuali jika ‘aib tidak diketahui oleh pembeli, maka boleh complain kepada penjual.



Daftar Pustaka

Hasan, M. Ali, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
Karim, Helmi, Fiqh Muamalat, Rajawali Press, Jakarta, 2002.
Rasjid, H.Sulaiman, Fiqh Islam, Sinar Baru Algensindo, 1994.
Ya’qub, Hamzah, Kode Etik Dagang menurut Islam, Diponegoro, Bandung, 1984.







[1] A.Munir dan Sudarsono, Dasar – dasar Agama Islam, (Jakarta, Rineka Cipta, 2001), hlm.219.
[2] Rachmat Syafi’i, Op.Cit, hlm. 103.
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Hendi Suhendi, Op.Cit, hlm. 64.
[6] H.Rachmad Syafi’i, Op.Cit, hlm. 104 - 105
[7] Ibid, hlm. 115-116

Tidak ada komentar:

Posting Komentar